Sharing: Pengalaman Saat Mempelajari Akupunktur di China
Saat
saya mengajar di Kursus Sinshe Candranaya, saya bertemu dengan seorang siswa
yang cukup "unik". Ia selalu mengeluh akan ini dan itu, akan
manajemen kursus yang (diklaimnya) payah, akan materi pelajaran yang sulit, dan
bahkan akan cara mengajar saya. Ia bahkan berkata, kalau begini terus, lebih
baik ia menyerah saja dan tidak lanjut kursus lagi. Lalu pada akhirnya ia
memang benar-benar mengundurkan diri. Bagaimanapun, perkataannya membuat saya merasa
"tergerak" untuk membagikan sedikit "pengalaman pahit" yang
saya alami saat belajar di china - pengalaman yang biarpun pahit, namun justru
inilah yang membuat saya bisa menjadi seperti sekarang ini.
Saya
mempunyai sepasang mata yang "berbeda" dengan teman-teman sekalian.
Ia bisa melihat, bisa mengenali tanpa kacamata figur-figur yang
"besar". Tetapi lain halnya untuk membaca. Bahkan kacamata tebal pun
tidak mampu menolong saya untuk bisa membaca dengan jarak 30 cm. Untuk melihat
tulisan di papan tulis, saya harus menggunakan alat bantu seperti teropong agar
bisa melihatnya. Keadaan saya waktu mahasiswa malah jauh lebih parah dari
sekarang, karena baik dokter maupun pakar TCM menyerah dalam mengobati saya.
Masalah
dimulai saat saya magang di Bagian Akupunktur di tahun ketiga. Saya bertemu
seorang guru yang, di akhir sesi magang saya, mengatakan, "Saya sarankan
kamu jangan mempelajari akupunktur. Keadaan mata kamu tidak memungkinkan."
Perkataannya
itu benar-benar merupakan pukulan telak bagi saya. Dan karena ia adalah seorang
ahli akupunktur yang mestinya berpengalaman dalam bidangnya, itu menjadi lebih
parah. Saya benar-benar down. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk tidak
mempelajari akupunktur. Ya, saya benar-benar menyerah! Saya bahkan sangat membenci
pelajaran itu! Tapi karena pada tahun kelima saya tetap harus mengikuti magang
di Bagian Akupunktur, magang itu menjadi momok bagi saya. Ditambah lagi, saya
melihat kenyataan di mana beberapa teman saya diizinkan untuk menusuk pasien
sementara saya selalu mendapat dosen yang tidak pernah memberikan saya
kesempatan itu. Mau tidak mau kata-kata itupun terlintas, "Semua dosen
akupunktur merendahkan saya hanya karena mata saya." Manalagi saya selalu
bertemu dengan pasien-pasien yang kurang bermartabat. Saat melihat saya
mencabut jarum pasien, famili si pasien langsung menukas, "Kenapa kamu
masih tidak tahu diri masih bisa praktek disini padahal mata kamu seperti itu?!
Cepat sana cari pekerjaan lain!" Dan masih banyak perkataan-perkataan
kejam lainnya. Makanya, yang saya kerjakan saat magang hanyalah berdiam diri,
murung, lalu keluar dari ruang praktek, bahkan acapkali menangis. Bahkan ada
satu hari di mana saya tidak masuk praktek, saya hanya berbaring di atas tempat
tidur, tubuh saya lemas sekali, tidak ada tenaga untuk membangkitkannya. Saya
depresi.
Dan
rasa-rasanya, setiap kita dihantam sebuah cobaan, kesulitan-kesulitan lain akan
ikut beramai-ramai datang menyiksa. Saya menemukan beberapa teman yang dulunya
baik dengan saya, malah tiba-tiba berbalik "menyerang" saya. Salah
seorang teman Thailand saya menyarankan agar saya tidak mendalami akupunktur
karena keterbatasan saya. Pada sebuah tugas presentasi, semua teman setuju
menunjuk saya sebagai wakil kelompok yang tampil di depan membawakan presentasi
- kecuali seseorang yang merupakan murid tertua di kelas kami. Alasannya,
"karena mata kamu pasti akan melihat dekat-dekat untuk membaca sehingga
tidak akan enak dilihat, dan nanti diklaim oleh dosen."
Semua
itu membuat saya bertanya pada Tuhan, apa sebetulnya alasanNya memberikan mata
seperti ini? Bahkan saya sempat mengatakan bahwa Tuhan tidak adil terhadap
saya. Dan ternyata, jawabannya datang dalam sebuah sesi tak terduga.
Saat
itu kelompok kami akan ditugaskan untuk magang di Bagian Akupunktur (lagi! Saya
meringis) di rumah sakit lain. Ketakutan pun menghantui saya. Detik demi detik,
menit demi menit saya lakukan untuk berdoa. Saya bahkan mengikuti rombongan
saya dengan pandangan kosong karena fokus saya saat itu hanya untuk memohon
pada Tuhan, agar Ia memberikan saya "Keajaiban Nya". Lalu mereka
membawa kami ke salah satu ruang praktek paling luas di rumah sakit ini, yang
ditangani oleh seorang dokter pria senior. Ia memiliki banyak sekali pasien dan
murid. Saya mengikuti segala instruksinya dengan lesu, walaupun saya akui
dokter ini berbeda dengan dokter akupunktur lain yang saya temui - ia kelihatan
ramah dan sabar. Ia menerangkan semua kondisi pasiennya selengkap mungkin, dan
keesokan harinya, secara tiba-tiba ia menunjuk saya dan menyodorkan segenggam
jarum, berkata, "Coba kamu akupunktur daerah Jian San Zhen dan Feng Long."
Bukan
main kagetnya saya. Pikiran saya berseru panik, Ya Tuhan, kita akan menusuk pasien, kita tidak mungkin bisa! Tapi
suatu sentakan harga diri membungkam jeritan rendah diri saya. Saya pun
memberanikan diri untuk mengambil jarum-jarum tersebut, dan dengan tangan
bergetar, saya menusuk pasien itu!
Saya
baru saja berteriak kegirangan dalam hati, ketika toba-tiba sang dokter
berbalik dan berkata, "Titik yang kamu tusuk itu salah!"
Lemaslah
saya. Baru saja saya bersyukur akan keberhasilan saya, tapi ternyata saya
gagal! Belum lagi pada kesempatan-kesempatan selanjutnya, saya selalu salah
dalam pemilihan titik akupunktur. Dan Sabtu itu, guru saya tidak memberikan
saya kesempatan sama sekali untuk praktek!
Bukan
main hancurnya saya. Kepercayaan diri yang mulai terbangun itupun runtuh
seketika. Depresi kembali menyerang saya. Pikiran-pikiran kacau kembali
memenuhi benak saya. Saya sudah nyaris untuk menyerah lagi, tetapi hari Minggu
keesokan harinya, saya kembali "disadarkan". Sebuah pikiran menyentak
ketika saya menaiki tangga di rumah sakit, "Tuhan tidak mungkin memberikan
aku cobaan tanpa alasan. Di kemudian hari entah kapan, aku pasti akan
mensyukuri segala pencobaan yang menghadangku. Aku akan bisa berbalik
menggunakannya menjadi sesuatu yang baik." Karena itulah, saya tetap
memasuki ruang praktek No. 18. Saya bahkan tidak mau kalah dengan mahasiswa
China. Mereka rajin dan ulet, saya berusaha lebih rajin dan ulet daripada
mereka. Mereka berusaha mengelilingi dosen dan ringan tangan dalam membantunya,
saya - berlawanan dengan mereka - mengeluarkan sebuah notes dan mencatat segala
keadaan pasien, titik-titik, dan apapun yang saya dapatkan dari pengamatan
saya. Sampai-sampai salah seorang mahasiswa S2 berkata, "Rajin sekali
kamu, mencatat apa yang tidak kami catat." Saya bahkan masuk dalam
rombongan yang datang paling awal, serta beristirahat dan pulang paling
terakhir. Saat itu bulan Desember dan musim dingin, suhu pada malam hari betul-betul
menyiksa dan membekukan, belum lagi ditambah tiupan anginnya. Tapi ternyata
obsesi mengalahkan segalanya. Tidak peduli seberapa keras saya harus berusaha,
saya akan mencoba sampai saya berhasil.
Mungkin
tergerak dengan usaha saya, dosen saya pun akhirnya kembali memberikan
kepercayaan kepada saya untuk menusuk pasien. Dan kali ini, tidak ada kritikan
yang terlontar darinya. Ia bahkan mengetahui keadaan mata saya, dan ia
menyemangati saya bahwa saya bisa sembuh, serta mengajarkan titik-titik akupunktur
untuk mengobati mata saya sendiri. Terima kasih banyak, dr. Zhang Boru!
Tapi
dosen pembimbing saya selanjutnya lah yang benar-benar memantapkan jalan saya
menjadi akupunkturis.
Dr.
Yu Cengji juga merupakan salah satu dokter senior di First Affiliation Hospotal
of Tianjin Univ. TCM, walaupun pasien yang ditanganinya tidaklah sebanyak Dr.
Zhang Boru. Di hari pertama saya magang di tempatnya, ia benar-benar ramah
terhadap saya. Ia menerangkan pelajaran jauh lebih lengkap daripada dr. Zhang.
Walaupun di hari selanjutnya ia pernah berkata, "Mengapa kamu belajar
akupunktur? Kondisi kamu itu akan menyulitkan kamu, loh." Perasaan
inferior kembali menguasai diri saya, saya sempat merasa dilecehkan - namun
hanya untuk beberapa saat. Sesi internship saya dengan dr. Zhang ternyata
memberikan saya kepercayadirian yang cukup besar. Saya tetap melakukan
internship sama tekunnya dengan sesi dr. Zhang, dan suatu hari, dr. Yu
mengatakan, "Bahkan murid-murid China saya pun tidak setekun kamu."
Bahkan, pasien lain ikut berkomentar, "Saya tidak pernah melihat dr. Yu
memperhatikan muridnya yang lain seperti ia memperhatikan kamu. Berarti kamu
merupakan murid yang istimewa menurut anggapannya."
Setelah
itu, dr. Yu menjadi mentor pembimbing akupunktur saya selama tiga bulan penuh
ke depan, sampai akhirnya saya lulus dan kembali ke Indonesia.
Saya
betul-betul berterima kasih kepada kedua dosen pembimbing saya ini. Karena
mereka lah saya mempunyai kepercayaan diri untuk menekuni akupunktur. Mereka
juga membantu saya dalam menterapi mata saya, sehingga kini saya bisa mendapat
kemajuan untuk perkembangan mata saya. Dan pula, saya berterimakasih pada dosen
pembimbing tahun ketiga saya. Ia memang bersikap pesimis, namun ternyata saya
adalah orang yang baru bisa maju setelah dihadapkan pada kegagalan. Ia membuat
saya mengerti akan kerasnya kehidupan, bahwa segala sesuatu tidak bisa
diperoleh dengan mudah. Karena kesedihan itu ada, maka terciptalah kebahagiaan.
Karena kegagalan itu eksis, maka muncullah kesuksesan. Sekarang, akhirnya saya
mampu menjadi akupunkturis yang berkompeten, bahkan di beberapa sesi saya
dipercaya untuk membawakan pengajaran akupunktur. Saya berhasil menepis
kata-kata pesimistik yang dilontarkan pada saya. Karena saya tidak memilih
untuk menyerah, dan terus berjuang.
Terima kasih telah membaca!
Oleh: Sinshe Shinta Amelia, CMD
shinta.tcm@gmail.com